Sunday, December 11, 2011

Asal Usul Sunda

65% penduduk Jawa Barat adalah Suku Sunda yang merupakan penduduk asli provinsi ini. Suku lainnya adalah Suku Jawa yang banyak dijumpai di daerah bagian utara Jawa Barat, Suku Betawi banyak mendiami daerah bagian barat yang bersempadan dengan Jakarta. Suku Minang dan Suku Batak banyak mendiami Kota-kota besar di Jawa Barat, seperti Bandung, Cimahi, Bogor, Bekasi, dan Depok. Sementara itu Orang Tionghoa banyak dijumpai hampir di seluruh daerah Jawa Barat.

Hampir semua orang Sunda beragama Islam. Hanya sebagian kecil yang tidak
beragama Islam, diantaranya orang-orang Baduy yang tinggal di Banten Tetapi juga ada
yang beragama Katolik, Kristen, Hindu, Budha.Selatan. Praktek-praktek sinkretisme dan mistik masih dilakukan. Pada dasarnya seluruh kehidupan orang Sunda ditujukan untuk memelihara keseimbangan alam semesta.


Pada masa nirleka (prasejarah) masyarakat Sunda begitu menjunjung tinggi (roh) para leluhur dan ajaran-ajarannya. Kepercayaan terhadap nenek moyang ini senantiasa dipelihara oleh mereka hingga berabad-abad kemudian setelah agama Hindu-Buddha dan Islam masuk ke wilayah mereka. Jadi, walaupun pengaruh agama lain kuat terhadap kehidupan, masyarakat Sunda kuno tetap memegang teguh kepercayaan terhadap (ajaran) nenek-moyang. Naskah-naskah kuno begitu sering menyebutkan adanya kabuyutan, yakni tempat sakral yang diperuntukkan bagi kaum brahmana atau resi atau bagawat yang bertugas memelihara ajaran agama dan tempat suci itu sendiri. Kabuyutan juga merupakan tempat di mana para pujangga (kauam intelektual) menulis kitab-kitab tentang agama. Prasasti Gegerhanjuang (1111 M) di Singaparna (Tasikmalaya), misalnya, menyebutkan adanya panyusukan atau penyaluran air sehubungan dengan pembangunan Kabuyutan Linggawangi di tempat bersangkutan.

Upaya raja-raja Sunda dalam membuat kabuyutan juga banyak diabadikan dalam naskah-naskah, salah satunya Amanat Galunggung (dikenal juga sebagai Kropak 632 atau Naskah Ciburuy). Di dalamnya diberitakan bahwa Prabu Dharmasiksa berpesan terhadap anak-cucunya agar memegang teguh ajaran agama dan menjaga Kabuyutan Galunggung. Diperingatkannya bahwa kabuyutan tersebut jangan jatuh ke tangan orang non-Sunda, dan orang yang memelihara kabuyutan tersebut akan memeroleh kesaktian, unggul dalam perang, hidup akan lama, keturunannya akan bahagia. Jelas, bahwa bagi raja-raja Sunda, fungsi kabuyutan sebagai kekuatan magis dinilai sangat penting, lebih penting dari, misalnya, lamanya sang raja memerintah. Dalam pandangan orang Sunda Kuno, kedudukan kabuyutan sejajar dengan nilai kemenangan dalam perang. Pada masa Sri Baduga, pemeliharaan terhadap kabuyutan ini tetap dilaksanakan. Ia menyatakan, kabuyutan di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya dijadikan sebagai “desa perdikan”, yaitu desa yang dibebaskan dari pajak. Kabuyutan ini dibebaspajakkan karena jasa-jasanya terhadap negara dalam memelihari ajaran leluhur dan juga perintah raja.

Naskah Amanat Galunggung juga memuat ajaran agar senantiasa melaksanakan perintah nenek moyang (juga orangtua) serta menjaga apa-apa yang telah diperbuat oleh leluhur yang telah almarhum (suwargi).

“Tetaplah mengikuti orangtua, melaksanakan ajaran yang membuat parit di Galunggung, agar unggul perang, serba tumbuh tanam-tanaman, lama berjaya. Sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama warisan dari para almarhum.”

Nama KERAJAAN SUNDA berawal ketika Sri Baginda Maha Raja Lingga Warman Kusuma Yudha sebagai Raja terakhir (ke. 12) Kerajaan Jagat Pati Tarum Nagara yang berkedudukan di Keraton Bima (sekarang Obyek Wisata Kolam Linggajati) ..mengalami kemunduran / masa suram. Dan akhirnya menyerahkan Tahta Kerajaannya kepada menantunya yang bernama Sri Maha Prabu Tarusbawa / Sang Tohaan, yang kemudian mengganti nama Kerajaannya menjadi KERAJAAN SUNDA, Thn. 591 SM, yang berkedudukan di Ds. Sembawa Peusing Kec. Jalaksana Kuningan.

Tarus bawa adalah suami dari Putri Mahkota Prabu Lingga Warman yang bernama Ratu Widari Mayang Kencana.

Ratu Dewi Mayang Kencana mempunyai adik kandung yang bernama Ratu Dewi Sobakancana, yang kemudian dijadi kan Permesuri oleh Sri Haji Depuhyantang Jayanase yang kemudian beliau mendi rikan Kerajaan besar di Swarnabhumi /Sumatera yang bernama Kerajaan SRIWIJAYA.

Sri Maha Prabu Tarusbawa Sang Tohaan mempunyai dua orang anak. Putra pertama bernama Raden Sunda Sembawa sebagai Putra Mahkota dan yang ke dua bernama Ratu Dewi Mayang Sari. Raden Sunda Sembawa mempu nyai putri bernama Ratu Teja Kencana/Sekar Kencana yang kemudian dijadikan Permaisuri oleh Raden Sanjaya Haris Dharma Yudha (Cucu Sang Mandiminyak Raja Galuh Medang Kamuliaan Kuningan).

Sementara Putra kedua yang bernama Ratu Dewi Mayang Sari menikah dg Raden Wangsa Nagara (sebagai Patih Kerajaan Sunda) mempunyai putra yang bernama Raden Anggada. Raden Sanjaya dari pernikahannya dg Ratu Sekar Kencana/ Teja Kencana dikaruniai satu orang putra yang diberi nama Prabu Anom Raden Barmawijaya/ Raden Tamperan/Sang Dago Jawa.

Selanjut nya seiring perjalanan waktu pada akhirnya Beliau Raden Sanjaya dinobatkan sebagai RAJA SUNDA, Thn. 645 SM dan diberikan Gelar MAHA RAJA HARIS DHARMA BHIMA PRAKARMA PRABU MAHESWARA SARWA JAYASATRU YUD HA PURNA JAYA....
Keratonnya berkedudukan di KERATON BIMA (sekarang Obyek Wisata Kolam Linggajati).

Bila terdapat kesalahan atau ceritanya kurang jelas mohon maklum adanya karena memang begit
ulah sejarah, kita hanya mampu menerka-nerka dan melihat bukti yang ada..
Wallahu a'lam

Saturday, December 3, 2011

Peristiwa besar yang terlupakan "Pertempuran Bojongkokosan"

Pertempuran Ke-I / Penghadangan pertama.  (9 Desember 1945 s/d 12 Desember 1945)
Menjelang bulan   Desember 1945, suhu situasi kondisi di Jawa Barat juga semakin memanas. Perjuangan Rakyat Jawa Barat yang semula, lebih banyak dipengaruhi oleh sikap perjuangan diplomasi dari Pemerintah Pusat.
Maka pada saat itu mulai kehilangan kepercayaannya terhadap netralitas pimpinan Tentara Sekutu, yang nampaknya semakin condong untuk membantu pihak Belanda, dalam rangka menegakan kembali kekuasaannya di bumi Indonesia.
Sejak Tentara Sekutu menduduki kota Bandung, maka pergerakan lalulintas, baik personil maupun perlengkapan logistik antara Jakarta-Bandung, mereka upayakan dengan segala cara. Mula-mula untuk memenuhi kebutuhan akan perbekalan dan perlengkapan 60.000 anggota APWI di Bandung. Mereka mencoba mengirimkan barang-barang tersebut dengan mempergunakan kereta api dari Jakarta ke Bandung sebanyak 20 gerbong, yang dikawal oleh serdadu-serdadu Ghurka, melalui jalur utara.
Akan tetapi karena tidak ada koordinasi dengan Pasukan-pasukan TKR yang bertugas di daerah Dawuan, ialah Batayon Priatna dari Resimen – 5 TKR. Pengawal-pengawal perjalanan kereta api yang hanya dilakukan oleh 10 orang serdadu Ghurka dalam tempo sekejap sudah bisa dilumpuhkan, 4 orang tertembak mati, sedangkan 6 orang menyerahkan diri sebagai tawanan.
Isi ke 20 gerbong tersebut disita, yang terdiri dari makanan kalengan, seperti nasi goreng, kornet, sardencis, susu, keju, coklat dan sebagainya.
Juga terdapat sejumlah besar pakaian dan selimut. Dengan demikian pada saat itu Resimen-5 TKR memperoleh rezeki nomplok, bahkan rakyat penduduk setempatpun ikut menikmatinya.
Namun ternyata insiden ini menjadi berkepanjangan pula. Tentara Sekutu mengajukan “protes keras” kepada Menteri Amir Sjarifoeddin. Minta agar perbekalan dan perlengkapan yang disita tersebut dikembalikan.
Selanjutnya juga Menteri Amir Sjrifoeddin memberikan tegoran kepada Komandan Resimen – 5 TKR, ialah Mayor Moefreni untuk mengembalikan barang rampasan tersebut. Namun Mayor Moefreni menolak. Hanya para tawanan serdadu Ghurka yang bisa dikembalikan, itupun harus ditukar dengan para pejuang yang menjadi tawanan Tentara Sekutu di Jakarta.
Akhirnya Mayor Kawilarang diperintahkan Panglima Komandemen 1 TKR, Mayjen Didi Kartasasmita di Purwakarta, untuk melakukan tukar-menukar, 6 orang tawanan serdadu Ghurka, dengan pembebasan 8 orang para pejuang Republik Indonesia yang ditawan oleh Tentara Sekutu di Rumah Penjara Cipinang. Diantaranya ialah Mr. Soepangat dan Chairil Anwar.
Setelah insiden tersebut maka diperoleh kesepakatan antara Pemerintah RI dengan pihak Tentara Sekutu.
Bahwasanya setiap pengiriman perlengkapan dan perbekalan bagi Tentara Sekutu di Bandung harus dikawal oleh TKR-RI. Dengan demikian maka sejak tanggal 11 Desember 1945, pengawalan kereta api yang membawa perbekalan dan perlengkapan Tentara Sekutu dari Jakarta ke Bandung dilaksanakan oleh para Taruna dari Akademi Militer Tanggerang.
Selama kurang lebih satu bulan pada waktu itu, telah dilakukan tiga kali pengiriman perbekalan dan perlengkapan Tentara Sekutu dari Jakarta ke Bandung. Perjalanan pertama dikawal oleh 20 orang Taruna Akademi Militer Tanggerang dipimpin oleh Mayor Daan Mogot. Perjalanan kedua dipimpin oleh Mayor Kemal Idris, sedangkan perjalanan yang ketiga dipimpin oleh Kapten Islam Salim. Semua pengiriman perbekalan ini berjalan mulus tanpa hambatan apapun.
Akan tetapi kebutuhan Tentara Sekutu untuk melakukan operasinya di kota Bandung rupanya tidak hanya sebatas perbekalan dan perlengkapan saja. Namun memerlukan juga dukungan peralatan dan persenjataan berat lainnya, dari Pasukan-pasukan Kavaleri, Artileri, Zeni dan sebagainya, yang mungkin dapat diangkut dengan kereta api.
Maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut pihak Tentara Sekutu juga menyelenggarakan konvoy kendaraan-kendaraan di jalan raya secara periodik, yang dikawal ketat oleh mobil-mobil lapis baja dan tank-tank tempur. Dengan demikian sejak saat itu, maka setiap 1 atau 2 minggu sekali, akan terlihat iring-iringan kendaraan-kendaraan Tentara Sekutu di jalan raya antara Bandung-Jakarta pp.
Rupanya atas pertimbangan keamanan Tentara Sekutu lebih cenderung memilih jalur Jakarta-Bogor-Sukabumi-Cianjur-Bandung pp, untuk perjalanan konvoynya. Sedangkan lewat jalur Puncak, risikonya akan cukup besar, karena tanjakannya yang terlalu terjal untuk dilewati tank-tank dan mobil lapis baja yang sangat berat.
Pada awal bulan Maret 1946, Kolonel A.H. Nasution Panglima Divisi III pernah dipanggil Panglima Komandemen Jawa Barat Mayjen Didi Kartasasmita. Pada pertemuan tersebut diceritakan pula oleh Mayjen Didi Kartasasmita, bahwa suatu ketika mobil yang ditumpanginya pernah terjepit oleh konvoy Tentara Sekutu, ditengah perjalanan. Beliau betul-betul merasa tidak berdaya tatkala itu, namun masih untung juga, bahwa mereka tidak mengetahui, bahwa yang berada di dalam mobil tersebut adalah Panglima TKR Komandemen Jawa Barat.
Nampaknya Mayjen Didi Kartasasmita memahami betul, bahwa pada saat itu situasi kondisi di seluruh Jawa Barat meningkat semakin genting. Pertempuran-pertempuran telah berkecamuk diseluruh penjuru tanah air. Bahkan didalam kota Bandung, yang pernah menyandang gelar “kota diplomasi”, karena telah berhasil memisahkan antara dua kubu yang berseteru, ialah kubu Sekutu dengan antek-anteknya, disebelah utara rel kereta api dan kubu para pejuang disebelah selatan.
Namun sungguhpun demikian, setiap hari pertempuran terus berkecamuk disetiap penjuru kota. Sampai-sampai muncul kata pemeo : “di Bandung tiada hari tanpa pertempuran”.
Pada saat itu juga Panglima Komandemen TKR Jawa Barat mengeluarkan perintah, untuk menyerang konvoy-konvoy di jalan-jalan raya dalam wilayah Divisi III. Hubungan lalu-lintas personil dan logistik mereka, harus diputuskan selama mungkin. Namun demikian serangan harus dilakukan di tempat-tempat yang jauh dari perkampungan rakyat. Yaitu di daerah-daerah pegunungan dan hutan-hutan.
Sebelum keluar perintah “Serang konvoy” dari Panglima Komandemen TKR pada waktu itu. Sebetulnya Komandan Resimen-3 TKR di Sukabumi, ialah Letkol Eddy Sukardi juga sudah merasa jengkel dengan simpang-siurnya konvoy-konvoy kendaraan Tentara Sekutu yang melalui daerah komandonya, dari sejak Ciawi-Sukabumi-Cianjur.
Oleh karena itu kekuatan Resimen-3 TKR, sebanyak 4 Batalyon sudah digelar disepanjang jalur ini, sebagai berikut :
Batalyon I, dibawah komando Mayor Yahya Bahram Rangkuti, dengan kekuatan 4 Kompi, ialah ;
1) Kompi Kapten Tedjasukmara,
2)  Kompi Kapten Kusbini,
3)  Kompi Kapten Murad Idrus dan
4)  Kompi Kapten Mochtar Kosasih.
Batalyon ini menempati lokasi sepanjang 18 KM, membentang dari Cigombong sampai Cibadak.
Batalyon II, dibawah komando Mayor Harry Sukardi, dengan kekuatan 4 Kompi, ialah;
1)  Kompi Kapten Madsachri,
2)  Kompi Kapten Husein Alexsyah,
3)  Kompi Kapten Juanda dan
4)  Kompi Kapten Dasuki.
Batalyon ini menempati lokasi sepanjang 18 KM, dari sejak Cibadak sampai Sukabumi Barat.
Batalyon IV. Dibawah komando Mayor Abdurrachman, dengan kekuatan 4 Kompi, ialah ;
1) Kompi Kapten Djahidi,
2)  Kompi Kapten Sabir,
3)  Kompi Kapten Madsari dan
4)  Kompi Kapten Kabul Sirodz.
Batalyon ini Menempati lokasi sepanjang 15 KM, membentang dari Sukabumi Timur sampai Gekbrong.
Batalyon III, dibawah komando Kapten Anwar, dengan kekuatan 4 Kompi, ialah;
1) Kompi Kapten Saleh Opo,
2) Kompi Kapten Dasuni Zahid,
3) Kompi Kapten Musa Natakusumah dan
4) Kompi yang dipimpin langsung oleh Komandan Batalyon.
Batalyon ini menempati jalur yang paling panjang sekitar 30 KM, ialah dari mulai Gekbrong-Cianjur-Ciranjang.
Disamping Pasukan TKR ini, terdapat pula Pasukan atau Barisan Pejuang Rakyat, yang terdiri dari :
Barisan Hizbullah dibawah pimpinan Suryana, pasukan Kelasykarannya dipimpin oleh M. Abdullah, Nawawi Bakri dan Hamami.
Barisan Sabilillah dibawah pimpinan Sasmita Atmadja dan A. Basarah, pasukan Kelasykarannya dipimpin oleh Dadi Abdullah.
Barisan Banteng RI, dipimpin Suradiradja dan Lunadi, pasukan Kelasykarannya dipimpin oleh Tubagus Ahmad Kurtubi.
Barisan Pemuda Proletar, dibawah pimpinan Sambik, pasukan Kelasykarannya dipimpin oleh Mujana, Karim dan Dadang Sukatma.
Lasykar Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), dipimpin oleh Felix Kalesaran.
Barisan Pemuda Sosialis Indonesia (PESINDO), dibawah pimpinan S. Waluyo, Ismail dan Bakri.
Pertempuran-pertempuran antara Tentara Sekutu dengan TKR dan Barisan Pejuang di Bandung, semakin meningkat. Melalui pertempuran-pertempuran tersebut semakin banyak pula senjata-senjata dan perlengkapan lainnya dari Tentara Sekutu yang jatuh ke Tangan para pejuang kita, juga jumlah pelarian-pelarian pribadi serdadu-serdadu India Muslim ke Pihak Republik Indonesia semakin meningkat.
Nampaknya Brigadier Mc. Donald selaku Komandan Brigade ke 37 Tentara Sekutu di Bandung, memerlukan bantuan dari Jakarta, tidak hanya perbekalan dan Pasukan Infanteri saja yang bisa diangkut melalui jalur udara, tetapi juga memerlukan, Pasukan Kendaraan Lapis Baja dan Meriam, serta perbekalan dan alat-peralatan lainnya yang harus didatangkan melaluli jalur darat.
Kemungkinan bantuan-bantuan Tentara Sekutu melalui jalur darat ini, rupanya juga sudah menjadi perkiraan para pejuang di Bandung, oleh karena secara pribadi, mereka menyarankan agar para pejuang, yang berada disekitar jalur antara Bandung-Jakarta untuk mengganggu lalu-lintas kendaraan-kendaraan musuh tersebut.
Seruan pribadi dari para pejuang di Bandung ini segera mendapat tanggapan dari teman-teman seperjuangannya, terutama yang berada di wilayah kekuasaan Resimen – 3 TKR, yang membentang melalui jalan raya Bogor-Sukabumi-Cianjur.
Sebenarnya sejak Brigade ke-37 Tentara Sekutu memasuki kota Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945, lalu-lintas konvoy Tentara Sekutu yang membawa perbekalan, melalui jalur Bogor-Sukabumi-Cianjur itu, sudah beberapa kali terjadi. Namun karena suasana perjuangan pada saat itu masih sangat samar tanpa ada ketegasan, antara perjuangan diplomasi dan perlawanan dengan senjata. Maka sikap para pejuangpun penuh dengan keragu-raguan.
Adapun gangguan yang dilakukan para pejuang pada waktu itu, hanyalah sebatas dilakukan dengan memasang rintangan-rintangan pepohonan yang sederhana, ataupun tembakan-tembakan pribadi sekedar melampiaskan rasa kesal dan jengkel. Gangguan-gangguan tersebut pada umumnya tidak sampai menghambat perjalanan konvoy.
Namun pada tanggal 29 Nopember 1945, pernah terjadi peristiwa, beberapa truk yang memuat serdadu-serdadu Jepang dan Gurkha, mencoba memasuki jalur jalan antara Bogor-Sukabumi. Dihadang dengan barikade-barikade, dan diserang oleh Barisan Rakyat di daerah Cicurug dan Parungkuda. Dilaporkan 4 orang musuh tewas oleh Barisan Rakyat dan truk-truk kembali ke Bogor. Sedangkan pada hari itu juga sebanyak 124 buah truk Inggris dicegat rintangan-rintangan Barisan Rakyat di Ciranjang dan Gekbrong, tanpa diketahui kerugian dari kedua pihak.
Karena gangguan-gangguan para pejuang diperjalanan darat antara Bogor-Sukabumi-Bandung, maka 1 batalyon Mahratta untuk memperkuat pendudukan Tentara Sekutu di Bandung, diangkut dari Jakarta ke Bandung dengan mempergunakan 12 buah pesawat terbang Dakota. Sedangkan pada tanggal 5 Desember 1945, bertolak lagi ke Bandung, pasukan-pasukan tank dan meriam, yang dikirim oleh markas Tentara Sekutu di Jakarta.
Menjelang bulan Desember 1945, semenjak operasi penghadangan ini menjadi kebijakkan komando atasan TKR, maka segala persiapanpun dilaksanakan dengan cara-cara yang lebih baik, dan dikoordinasikan langsung oleh Komandan-Komandan Resimen TKR.
4 Batalyon kekuatan Pasukan Resimen – 3 TKR, yang sudah digelar disepanjang jalur jalan raya mulai dari Ciawi-Sukabumi-Cianjur, langsung dipimpin dan dikoordinasikan oleh Letkol Eddy Sukardi dan Kepala Bagian Siasat Resimen Kapten Achmad Kosasih.
Rencana penghadangan dimulai dengan pemasangan rintangan-rintangan untuk menghambat gerak laju konvoy, ditempat-tempat yang bisa menguntungkan untuk melakukan penyergapan.
Sepanjang jalan raya yang berkelok-kelok tajam, dan naik turun antara Cicurug-Bojong Kokosan-Parungkuda, juga disisi kanan-kiri jalan terdapat tebing-tebing yang cukup terjal. Maka kondisi medan yang demikian ini, akan sangat menguntungkan untuk melakukan penyergapan. Lebih-lebih lagi pada saat itu daerah ini masih merupakan hutan belukar.
Di daerah ini dipasang barikade dengan menumbangkan pohon-pohon pelindung yang besar-besar dipinggir jalan, dipasang saling melintang, untuk merintani jalannya kendaraan-kendaraan. Sedangkan pada tempat-tempat tertentu, digali lubang-lubang yang besar- besar, yang cukup dalam untuk dijadikan perangkap kendaraan tank dan lais baja. Pada dasar lubang-lubang tersebut dipasangi juga ranjau-ranjau darat yang dapat melumpuhkan kendaraan lapis baja dan tank.
Di atas tebing disisi kanan-kiri jalan dibuat pula lubang-lubang perlindungan bagi para prajurit yang akan melakukan penyerangan, secara serentak pada waktunya. Mereka dipersenjatai dengan senjata-senjata api seadanya, termasuk granat-granat tangan dan bom-bom Molotov, hasil buatan pabrik senjata Braat milik Resimen 3 sendiri di Sukabumi, dibawah pimpinan Kapten Saleh Norman.
Karena persediaan amunisi terbatas, maka tidak mungkin untuk bisa melayani dan menangkis serangan  balas dari musuh, secara frontal dalam waktu yang cukup lama. Rencana penyergapan akan dilakukan dengan taktik “ Hit and run “. Sergap dan hancurkan, pada kesempatan yang paling baik, dan segera menghilang untuk menghemat senjata, hemat pasukan, aman dan menang.
Hari Minggu tanggal 9 Desember 1945, Kapten Achmad Kosasih Kepala Bagian Siasat Resimen 3 di Jl. Kerkhof Sukabumi bersama Komandan Resimen dan Dokter Resimen, ialah Dr. Hasan Sadikin. Saat itu dikejutkan dengan dering telefon dari Pos Cigombong, Komandan Pos Cigombong melaporkan bahwa : “ Dua tank Sherman kawal depan konvoy Tentara Sekutu, telah memasuki Cigombong ”.
Laporan selanjutnya menyatakan bahwa, jumlah iring-iringan konvoy sekitar 150 buah truk, dikawal oleh 1 batalyon serdadu Sekutu, dimulai dengan tank-tank Sherman, sebagai kawal depan, kemudian sejumlah kendaraan berlapis baja, selanjutnya iring-iringan truk, dan diselang-seling dengan kendaraan-kendaraan brencarrier.
Komandan Resimen 3 TKR, memerintahkan, agar pos-pos Cigombong dan Cicurug tidak menyerang terlebih dahulu, sebelum kawal depan konvoy memasuki daerah “ killing ground “, ialah daerah perbukitan Bojong Kokosan. Dengan maksud, bahwa setelah kepalanya dipukul baru badannya diserang, diberbagai daerah.
Di daerah Bojong Kokosan, konvoy dihadang dengan barikade pepohonan yang malang melintang di tengah jalan. Tank-tank Sherman mencoba mendorong-dorong rintangan. Tank pertama terperosok masuk kedalam lubang jebakan, maka terdengarlah ledakan ranjau darat, dan rantai-rantai roda tankpun lepas terburai.
Iring-iringan konvoy dibagian dibelakang memberhentikan, kendaraannya secara mendadak, maka terjadilah tabrakan-tabrakan beruntun. Susunan konvoy menjadi kacau balau, tidak terkendalikan lagi.
Maka pada momen inilah, serangan penyergapan dimulai. Tembakan-tembakan gencar dilakukan dari tebing-tebing di kiri-kanan jalan, menyambut serdadu-serdadu Sekutu yang berloncatan turun dari atas truk. Mereka berusaha menyusun formasi tempur, akan tetapi terus-menerus dihujani granat dan bom-bom molotov.
Bagian tengah konvoy tidak bisa bergerak maju, tertahan oleh bagian depan yang sedang menghadapi sergapan serentak dari prajurit-prajurit TKR dan Barisan Pejuang Rakyat. Mereka berusaha bergerak mundur, namun terhambat pula oleh bagian ekor yang baru sampai di Cigombong. Akhirnya susunan konvoy yang panjangnya kurang lebih 12 KM itu terpenggal-penggal menjadi beberapa bagian.
Sementara serdadu-serdadu Tentara Sekutu dari Batalyon Jats yang mengawal konvoy tersebut terus menerus ditembaki dari tebing-tebing pinggir jalan, bahkan anak-anak panah dan kelereng sebagai peluru, ketepelpun ikut berperan menghujani serdadu-serdadu musuh, dalam peristiwa penyergapan tersebut.
Mobil ambulans simpang siur memberikan pertolongan terhadap serdadu-serdadu Sekutu yang cidera dan tewas. Ternyata Komandan Batalyon 5/9 Jats yang naik kendaraan lapis baja juga terkena sasaran granat, ia menderita cidera berat. Demikian ia keluar dari mobil lapis baja, segera digotong, dan diangkut dengan ambulans.
Sesaat setelah mereka sempat menyusun kekuatannya lagi, mereka berusaha, untuk menyingkirkan kendaraan lapis baja dan truk-truk yang rusak ke pinggir jalan. Kemudian mereka juga mulai membuka tembakan ke arah persembunyian para pejuang. Kendaraan-kendaraan lapis baja memuntahkan peluru senapan mesin kaliber 12,7 mm, ke arah tebing-tebing yang menjadi kubu-kubu pertahanan kita.
Tank Sherman mulai beraksi dengan menembaki kubu-kubu pertahanan kita, di lereng-lereng tebing dengan menggunakan meriam. Ada kejadian yang sangat mengenaskan, ialah sewaktu 12 orang prajurit TKR yang bertahan di sebuah kubu dihantam ledakan peluru meriam, kubu pertahanan tersebut hancur, dan ke-12 orang prajurit TKR tersebut berjatuhan tergusur  longsoran, dan gugur bersama.
Karena sudah kehabisan amunisi pertempuran di Bojong Kokosan dihentikan. Maka konvoypun bergerak maju lagi dengan meninggalkan sejumlah truk perbekalan yang rusak disepanjang jalan antara Cigombong dan Cicurug.
Antara Cibadak-Cikukulu formasi masih acak-acakan, terpenggal-penggal, namun tank Sherman, mobil lapis baja dan brencarrier memaksa konvoy untuk bergerak maju lagi. Di jalan raya Karangtengah konvoy berpapasan dengan kendaraan Staf Resimen 3, tanpa kompromi, senapan mesin 12,7 mm mobil lapis baja memberondong mobil Staf Resimen 3 tersebut, dan tak ayal lagi 9 orang prajurit TKR, gugur seketika.
Di daerah Cikulu tank Sherman, mobil lapis baja dan brencarrier, terpaksa berhenti dahulu untuk menunggu susunan formasi konvoy yang tertinggal jauh di belakang. Sementara itu, peluru senapan, granat dan bom-bom molotov dari pasukan-pasukan TKR di daerah itu menghujani mereka.
Hambatan selanjutnya terjadi lagi tatkala memasuki kota Sukabumi, satu truk berisi perbekalan persenjataan dapat dirampas. Demikian pula setelah masuk kota di Jalan Degung-Cipelang, disambut lagi dengan hujan peluru, granat dan bom Molotov.
Pada jam 24.00 Komandan Batalyon Herry Sukardi mendapat perintah dari Komandan Resimen untuk menghentikan penghadangan. Dan untuk selanjutnya diserahkan kepada Batalyon Mayor Abdurrachman, yang diposisikan untuk mempertahankan daerah Sukabumi selatan-Gekbrong.
Konvoy yang berangkat dari Jakarta pada tanggal 9 Desember 1945 baru tiba di Bandung pada tanggal 12 Desember 1945, dalam keadaan babak belur, itupun setelah dibantu oleh serangan udara habis-habisan dari RAF, terhadap posisi pertahanan kita. Sedangkan pada hari yang sama telah tiba juga di Bandung pengiriman perbekalan serta peralatan milik Sekutu dari Jakarta yang dikawal oleh pasukan TKR, ialah para Taruna Akademi Militer Tanggerang dengan selamat.
Sungguh sulit untuk dimengerti, sikap perjuangan bangsa Indonesia, dalam rangka menegakkan dan mempertahankan kemerdekaannya saat itu. Disatu sisi melawan kekuatan asing yang mencoba untuk berkuasa lagi di tanah air dengan perlawanan bersenjata habis-habisan. Sedangkan disisi yang lain masih juga mengulurkan tangan untuk membuka perundingan-perundingan diplomasi dengan baik-baik.
Ternyata bahwa konvoy Tentara Sekutu yang dihadang oleh Pasukan TKR Resimen 3 pada tanggal 9 sampai dengan tanggal 11 Desember 1945 itu, terdiri dari kurang lebih 150 buah kendaraan yang dikawal oleh Tentara Sekutu dari Batalyon 5/9 Jats, yang baru untuk pertama kalinya bertempur di Pulau Jawa.
Pihak Sekutu mengalami cukup banyak kerugian, 9 buah truk dan 2 jeep jatuh ke tangan kita. Sedangkan kerugian pihak kita juga cukup besar, TKR kehilangan 60 prajurit, disamping kurban dari pihak Barisan Pejuang Rakyat lebih banyak lagi, demikian pula dari penduduk daerah Cibadak yang menjadi kurban pemboman dan tembakan mitralyur dari pesawat udara.
Peristiwa tersebut dicatat oleh Letkol A.J.F. Doulton dalam Sejarah Militer Inggris “The fighting cock “, tertulis pada Chapter 24, “the turn of the year 1945/1946 “, sebagai berikut:
An up convoy, escorted by 5/9 Jats, who were newcomers to Java, had begun the long climb through the hills when the leading rehicles were halted by a road-block. The hillside was alive with Indonesians, many of them, in the Japanese fashion occupying fox-holes, from which they lobbed an andless supply of Molotov coctail on the vehicles. It is no easy task to fight out of an ambush where an unseen foe commands the high ground and the infantry escort is spread over eight miles of road; moreover nightfall was not many hours away. The Jats C.O. was seriosly wounded in the first brush, one vehicle was ablaze, several others were badly damaged and number of drivers had slumped over their wheels, either dead or grievously hit.
(Doulton, 1951:183)

(Sebuah konvoy dikawal oleh Batalyon 5/9 Jats, pendatang baru di Pulau Jawa, mulai bergerak lama mendaki perbukitan-perbukitan. Kendaraan pendahulu berhenti dihadang perintang jalan.Diatas perbukitan dipenuhi orang-orang Indonesia. Banyak diantaranya yang bersembunyi di lubang-lubang pertahanan ala Jepang, dan mulai melempari kendaraan-kendaraan kami dengan bom-bom molotov tanpa habis-habisnya. Tidaklah mudah untuk keluar dari suatu penghadang yang dilakukan oleh musuh yang tidak nampak, yang menempati ketinggian-ketinggian, lebih-lebih keadaan sudah mendekati gelap malam. Ditambah lagi pengawal terpencar di jalanan sepanjang 10 km. Pimpinan pasukan Jats sudah terluka parah pada awal serangan. Satu kendaraan terbakar, sejumlah lainnya rusak berat dan sejumlah pengemudi terlungkup diatas kemudi, entah mati atau terkena tembakan yang mengenaskan).
GENCATAN SENJATA / CEASE FIRE  (13 DESEMBER s/d 9 MARET 1946)
Setibanya Sekutu di Sukabumi diatas pukul 21.00 terpaksa bermalam di Sukabumi sebelum melanjutkan perjalanan ke kota Bandung. Di Kota Sukabumi dicapai kesepakatan untuk melakukan gencatan senjata (gencatan senjata lokal).
Gencatan senjata ini dihadiri dari pihak Inggris mengirimkan Mayor Rawin Singh utusan khusus dari Bogor dan dari pihak RI yang hadir adalah Walikota dan Komandan Resimen-3 TKR.
Gencatan senjata ini selama kurang lebih 3 bulan disebut NOWAR, NOPEACE.
Setelah terjadi gencatan ini Konvoi Inggris tidak melalui Sukabumi, Personil dan Peralatan Inggris di angkut melalui udara.
Baru mulai bulan Febuari 1946 lalu Sukabumi dipergunakan lagi, tapi pihak kita tidak bisa mengganggu karena terikat perjanjian Cease Fire, keadaan terus berlaku hingga 9 Maret 1946, tercapai selama gencatan senjata gangguan penembakan oleh rakyat terus berjalan, aksi-aksi perlawanan terhadap pergerakan Sekutu dan penghadangan lanjutan ini pada dasarnya diakibatkan pula oleh ulah Tentara Sekutu Sendiri yang melanggar kesepakatan yang telah di buat antara lain dengan melakukan pemboman ke kota Cibadak dan sekitarnya dilakukan pemboman dan penembakan udara menggunakan senjata otomatis kaliber besar dengan pesawat tempur dan pembom Mosquito. Serangan udara balas dendam ini dalam dokumentasi Inggris diakui sebagai yang paling dasyat dalam perang Jawa (…while the R.A.F. delivered the heaviest air strike of the Java “ war “ ) (Doulton, 1951:284 The Fighting Cock).
Intensitas pertempuran antara para pejuang diwilayah Sukabumi dengan Sekutu pada akhirnya semakin mempertebal rasa senasib seperjuangan, baik diantara TKR dan badan-badan perjuangan maupun antara TKR dan badan-badan perjuangan dengan rakyat Sukabumi pada umumnya. Kondisi tersebut pada akhirnya semakin meningkatkan kekohesifan diantara semua elemen masyarakat yang ada di Sukabumi. Selama Cease Fire korban pihak kita minim dan korban pihak Sekutu kurang lebih 50 orang tapi tidak diakui Inggris.
Pertempuran Ke-II / Penghadangan yang kedua  (10 MARET s/d 14 MARET 1946)
Pada tanggal 10 Maret 1946 sekitar jam 15.00, suatu konvoy besar Sekutu sudah memasuki wilayah Resimen 3 TRI (sejak tanggal 24 Januari 1946, TKR sudah diresmikan sebagai Tentara Repubrik Indonesia disingkat TRI). Menyambut kedatangan konvoy ini, Resimen 3 TRI Sukabumi telah merencanakan operasi penghadangan dengan satuan-satuan kecil TRI, bersama Barisan-Barisan Pejuang Rakyat, seperti Hizbullah, Sabilillah, Banteng, PESINDO dan barisan-barisan pejuang lainnya. Penghadangan akan dilakukan secara estafet, sepanjang jalan raya Cigombong sampai Cibadak.
Sejak konvoy memasuki jalur ini disambut dengan gema takbir, yang disusul dengan letusan-letusan senapan, hujan anak panah dan peluru ketepel, serta senjata-senjata tradisional lainnya dari balik bukit-bukit dan lubang perlindungan di tebing kiri-kanan jalan.
Tentara Sekutu tidak mengira bahwa jalur Bogor-Sukabumi yang sudah dinyatakan aman sejak pertempuran tanggal 13 Desember 1945, ternyata menjadi rawan kembali. Penghadangan dilakukan dengan taktik “ Hit and run “ yang sulit untuk diladeni.
Kali ini konvoy Sekutu yang cukup besar ini, dikawal oleh Batalyon Patiala, dibawah komando Letkol Bikram Dev Singh Gill. Batalyon Patiala ini adalah satuan-satuan serdadu bayaran dari suku Patiala yang berasal dari Propinsi Punjabi. Sebagian besar mereka memakai ikat kepala (ubel-ubel).
Di daerah Cikukulu tank Sherman, mulai tertumbuk barikade, demi barikade dari pohon-pohon perintang jalan. Dua buah tank Sherman bersama-sama mendorong barikade tersebut, tapi yang satu justru terperosok kedalam lubang jebakan, disusul dengan suara ledakan dahsyat dari ranjau darat.
Menjelang sore hari kawal depan konvoy sudah hampir memasuki kota Sukabumi, tiba-tiba tank Sherman, mobil lapis baja dan brencarrier mendapat gempuran dahsyat dari pasukan TRI yang dipimpin langsung oleh Komandan Batalyon Mayor Harry Sukardi.
Dalam kegelapan malam Letkol Bikram Dev. Singh Gill berusaha menyusun formasi tempur, namun saat itu juga terus-menerus mendapat serangan gencar dari pasukan Kompi Kapten Juanda yang berada di lokasi Situ Awi.
Bagian tengah konvoy terpenggal, mereka terpaksa mundur, namun akibatnya juga bertabrakan dengan susunan konvoy dibelakang. Serdadu-serdadu Batalyon Patiala berlompatan ke jalan raya, dan pada saat itu juga disambut dengan hujan granat, bom-bom molotov dan peluru berbagai jenis senapan.
Sedangkan bagian ekor konvoy terjepit oleh serangan serempak pasukan Kompi Kapten Kabul Sirodz dari Batalyon IV yang juga bertugas untuk mengkordinir serangan Barisan-Barisan Hizbullah, Sabilillah, Banteng, dan PESINDO.
Di pusat kota Sukabumi, malam itu menjadi marak oleh benderangnya pijar-pijar api, yang diletuskan dan diledakan berbagai jenis senjata. Tidak ubahnya sepeti layaknya pesta kembang api. Hanya bedanya, kalau pesta kembang api disambut dengan hati yang meriah, sedangkan semaraknya kembang api malam ini, diikuti rasa ngeri, kalau-kalau hidup itu hanya sampai malam itu.
Pertempuran tersebut baru reda menjelang waktu subuh, menurut catatan Letkol A.J.F. Doulton, sebagai berikut:
When dawn came, the Patialas had lost eight killed and had twentyfive wounded. The events of the 11th were depressing. The Patialas with the main convoy advanced only eight mile, battling hard the whole way.
(Doulton, 1951:295)

(Ketika fajar menyingsing, pasukan Patiala, telah kehilangan 8 orang mati dan 25 orang terluka. Peristiwa tanggal 11 Maret 1946 menyurutkan semangat. Pasukan Patiala dengan konvoy utamanya hanya melaju sejauh 8 mil, bertempur dengan sengit sepanjang jalan).
Suatu hal yang menguntungkan, bahwa pada tanggal 11 Maret 1946 pagi dan siang mereka tidak mengadakan operasi militer. Mereka hanya sibuk memperbaiki kendaraan-kendaraan yang rusak. Serdadu-serdadunya dikonsinyir, tidak boleh meninggalkan barak-barak darurat mereka dipinggir jalan. Namun pada hari itu juga telah disebarkan pamflet oleh pihak Sekutu dengan pesawat udara di sekitar daerah Sukabumi, yang isinya sebagai berikut:
Jika penyerangan tidak dihentikan pada 1 jam dari sekarang, maka kita akan mempergunakan tank, pesawat tempur udara, meriam dan senjata perang lain, untuk menggempur dengan tanpa ampun.
SERANGAN MALAM
Pada tanggal 11 Maret 1946, malam hari tiba-tiba lampu didalam kota dipadamkan pihak GBO (PLN). Ternyata Pasukan Resimen 3 TRI, bersama Barisan-Barisan Pejuang Rakyat kembali bergerak mengepung konvoy serdadu Batalyon Patiala dalam keadaan kurang siap tidak bisa berbuat banyak kecuali mempertahankan diri dengan tembakan yang membabi buta dari tempat mereka.
Pada tanggal 12 Maret 1946, berita dari Cigombong mengatakan 12 buah tank Sherman sebagai alat bala-bantuan dari Bogor sedang menuju Sukabumi. Demikian pula bala-bantuan pihak Sekutu dari Bandung juga mulai bergerak, serta dilindungi oleh pesawat-pesawat terbang.
Dari Bogor didatangkan tank-tank Sherman dari Squadron 13 Lancer. Namun begitu memasuki daerah disekitar jalan raya Cikukulu-Cisaat, diserang secara bersama oleh 4 kompi TRI, ialah Kompi Kapten Tedjasukmana, Kompi Kapten Kusbini, Kompi Kapten Murad Idrus, dan Kompi Kapten Husein Alexsyah.
Tank Sherman Squdron 13 Lancer dalam rangka mempertahankan diri sampai-sampai kehabisan peluru, namun segera memperoleh supply lagi melalui dropping dari pesawat terbang RAF.
Untuk menyelamatkan pasukan tank Sherman Squadron 13 Lancer, terpaksa Batalyon Patiala kembali bergerak keluar dari kota Sukabumi, untuk memberikan pertolongan. Yang akan ditolong malah akhirnya jadi menolong.
Pada tanggal 12 Maret 1946 dari Bandung juga pihak Sekutu mengirimkan bala-bantuan, ialah Batalyon 5/6 Rajputana Rifles, mereka adalah serdadu-serdadu bayaran yang berasal dari Propinsi Rajasthan.
Batalyon III TRI, dibawah pimpinan Kapten Anwar, yang ditempatkan di sekitar Cianjur, demikian mengikuti berita pertempuran-pertempuran di Sukabumi, sudah mengira bahwa bala-bantuan Sekutu juga akan didatangkan dari Bandung. Oleh karena itu batalyon ini juga sudah berada dalam keadaan siap siaga.
Kapten Anwar sekalipun ia Komandan Batalyon tapi ia juga langsung memegang senapan mesin watermantel yang sangat disayangi dan dibanggakannya, hasil rampasan dari serdadu Gurkha Rifles pada pertempuran yang lalu. Senapan mesin ini diberi nama “Si Ronggeng”.
Pada saat konvoy pendahulu dari batalyon Rajputana Rifles memasuki jembatan Cisokan di daerah Ciranjang. Pasukan Kompi Kapten Dasuni Zahid langsung membuka tembakan dari atas tebing. Pada saat itu juga sebuah tank Sherman meledak terkena ranjau darat ketika melewati jembatan.
Memasuki kota Cianjur konvoy mendapat serangan dari pasukan Kompi Kapten Saleh Opo, bekerja-sama dengan Barisan Pejuang Rakyat. Pasukan para pejuang melakukan serangan dari balik bangunan-bangunan pertokoan dan pepohonan dengan taktik “hit and run”.
Dijalan raya Belendung Batalyon Rajputana Rifles, kembali mendapat serangan gencar, sebuah tank Sherman, roda depannya menggilas ranjau darat, meledak terpental ke udara. Tidak lama kemudian sebuah tank Sherman lagi ketika melewati jembatan Cikaret, roda depannya menggilas ranjau darat, tank terseok-seok masuk jurang.
Pada saat itu terjadi kesibukan yang luar biasa untuk menolong menyelamatkan penumpang tank tersebut. Yang ternyata salah satunya adalah Komandan Batalyon Rajputana Rifles. Nampaknya dia terluka parah, yang kemudian segera diselamatkan oleh regu penolong.
Di daerah Warung Kondang tank-tank Sherman kembali dihambat barikade-barikade dari pepohonan yang silang-melintang di tengah jalan. Konvoy terpaksa berhenti, serdadu-serdadu dari Batalyon Rajputana Rifles diperintahkan turun untuk menyingkirkan batang-batang pohon tersebut. Tapi pada momen itu tiba-tiba dari kiri-kanan jalan mendapat serangan mendadak, dengan berbagai macam senjata, maka suara-suara ledakan granatpun mengguncang suasana kampung yang sepi didaerah tersebut.
Menjelang daerah Gekbrong, terjadi lagi pertempuran yang seru, dan berlangsung cukup lama. Sebuah tank Sherman mogok diwaktu mendaki suatu tanjakan. Pengemudinya terpaksa harus turun, tapi begitu kepalanya nonggol disambut dengan tembakan bedil beaumont, maka pelurunya langsung memecahkan kepala serdadu tersebut.
Beberapa truk berusaha untuk menyalip tank yang mogok, akan tetapi salah satu truk yang nekad menggilas ranjau darat, truk meledak terlontar ke udara. Serdadu-serdadu yang berada di atas truk hancur porak poranda. Salah satu sepatu serdadu Batalyon Rajputana Rifles, jatuh tepat didepan wajah salah seorang prajurit pasukan Kompi Kapten Musa Natakusumah. Memperhatikan sepatu yang masih lengkap berisi sepotong kaki yang berlumuran darah, prajurit tersebut menyeringai sambil sambil bergidik.
Ternyata bahwa pihak Sekutu selain mendatangkan bala-bantuan dari Bogor yang melalui Cigombong-Cibadak, mereka juga mengirim bantuan pasukan yang diperkuat dengan pasukan tank-tank tempur, kendaraan lapis baja dan brencarrier yang lewat Ciawi-Puncak-Cianjur.
Ketika prajurit-prajurit dari Batalyon 3 TRI, melakukan serangan terhadap sepenggal iring-iringan konvoy musuh, tiba-tiba datang iring-iringan musuh yang lain, ialah bala bantuan dari Bogor yang melalui Puncak. Muncul dari arah Cugenang. Dalam pertempuran ini dari pihak kita telah gugur 11 orang perajurit, sedangkan dari pihak lawan menderita kerugian beberapa truk telah hancur dan seorang serdadu musuh tertawan. Jumlah yang tewas dan luka-luka dari pihak musuh tidak diketahui.
Karena dianggap beresiko tinggi Tentara Sekutu tidak jadi untuk menduduki Sukabumi. Setelah mengalami pertempuran 3 hari, mereka melangsungkan gerakannya ke arah Cianjur. Di daerah Sukaraja, kembali mendapat serangan dari Batalyon Field Preparation (FP) Resimen 3 TRI dibawah komando Kapten Effendy Pandjipurnama, bersama dengan Barisan Pejuang Rakyat setempat.
Pada tanggal 13 Maret 1946, Komandan Divisi ke-23 Tentara Inggris di Bandung juga memerintahkan Brigadier N.D.Wingrove untuk membantu kelancaran jalannya konvoy dari Sukabumi menuju Bandung dengan kekuatan pasukan Brigade I, yang terdiri dari 2 Kompi Pasukan Zeni tempur, disertai dengan satuan-satuan pengawalnya.
Sepanjang rute perjalanan menuju Bandung pertempuran terus berkecamuk di sekitar Cisokan, Citarum dan Purabaya. Asrama-asrama pasukan kita ditembaki dengan meriam. Di daerah Padalarang musuh mengadakan pembersihan sampai jauh sekelilingnya. Beberapa perwira TRI tertawan antara lain Mayor Sidik Brotoatmojo. Kepala Staf Resimen 9.
Brigade ke-37 Tentara Sekutu yang berada di Bandung melakukan aksi besar-besaran, mulai dari Cimahi sampai Padalarang, menyerang kedudukan-kedudukan kita.
Keadaan menjadi kacau-balau, hubungan antara pasukan kita menjadi terputus, yang diketahui hanyalah telah terjadi pertempuran yang terus menerus antara daerah Ciranjang dan Padalarang. Kerugian di pihak musuh tidak jelas, namun kabarnya mereka menderita kerugian sampai ratusan serdadunya telah tewas.
Hubungan Bogor-Sukabumi-Cianjur, akhirnya dibatalkan. Mereka lebih mengutamakan hubungan Bogor-Cianjur melalui Puncak. Mereka mendirikan pos-2 pengamanan sepanjang jalan ini. Sedangkan di Cianjur telah ditempatkan kurang lebih 1 Batalyon Tentara Sekutu untuk mengamankan daerah tersebut.
Serangan malam hari terhadap Tentara Sekutu di kota Sukabumi, telah menimbulkan korban di pihak mereka : Pada hari pertama, tewas 2 orang opsir Inggris dan 26 serdadu India. Pada hari kedua tewas 3 orang opsir Inggris, 1 orang opsir India dan 37 orang serdadu India.
Konvoy besar Tentara Sekutu, yang berangkat tanggal 10 Maret 1946, dari Jakarta, dengan pengawalan dari Batalyon Patiala, dibawah pimpinan Letkol Bikram Dev Singh Gill, tiba di Bandung pada tanggal 15 Maret 1946, dalam keadaan porak poranda, kendaraan-kendaraanya banyak yang rusak, truk-truknya pada bolong-bolong, akibat tembakan para pejuang kita disepanjang perjalanan.
Baiklah kita simak lagi catatan dari Letkol A.J.F. Doulton, sebagai berikut :
“Happily for us, this battle was the end of jeavy casualties, but it was no final strom which left the air clear and there was not much rest for the troops.”
(“Syukurlah, ini adalah jumlah korban besar yang terakhir yang kami alami dalam pertempuran, namun ini bukan badai terakhir dan pasukan tidak cukup mendapat istirahat”)
PENUTUP
Peristiwa Bojong Kokosan bukan peristiwa pertempuran satu-satunya melawan Sekutu yang terjadi di Jawa Barat yang melibatkan TKR dan badan-badan perjuangan.
Namun demikian peristiwa Bojong Kokosan merupakan aksi pembuka melawan mesin-mesin perang Sekutu yang relatip bersekala besar yang kemudian, langsung atau tidak langsung mempengaruhi lahirnya peristiwa-peristiwa pertempuran lain, baik di wilayah Sukabumi maupun diluar wilayah Sukabumi.
Keteladanan akan kegigihan perjuangan untuk menegakan kemerdekaan, keteladanan untuk menjaga harga diri dan martabat bangsa dan kesewenang-wenangan kekuatan Asing telah ditunjukan oleh TKR dalam peristiwa Bojong Kokosan. Semoga bermanfaat.

Ramalan Jayabaya 7 Presiden Di Indonesia

Ada tujuh satrio piningit yang akan muncul sebagai tokoh yang dikemudian hari akan memerintah atau memimpin wilayah seluas wilayah “bekas” kerajaan Majapahit , berkenaan dengan itu, banyak kalangan yang kemudian mencoba menafsirkan ke-tujuh Satrio Piningit itu adalah sebagai berikut :

1. SATRIO KINUNJORO MURWO KUNCORO. Tokoh pemimpin yang akrab dengan penjara (Kinunjoro), yang akan membebaskan bangsa ini dari belenggu keterpenjaraan dan akan kemudian menjadi tokoh pemimpin yang sangat tersohor diseluruh jagad (Murwo Kuncoro). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Soekarno, Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia yang juga Pemimpin Besar Revolusi dan pemimpin Rezim Orde Lama. Berkuasa tahun 1945-1967.


2. SATRIO MUKTI WIBOWO KESANDUNG KESAMPAR. Tokoh pemimpin yang berharta dunia (Mukti) juga berwibawa/ditakuti (Wibowo), namun akan mengalami suatu keadaan selalu dipersalahkan, serba buruk dan juga selalu dikaitkan dengan segala keburukan / kesalahan (Kesandung Kesampar). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Soeharto, Presiden Kedua Republik Indonesia dan pemimpin Rezim Orde Baru yang ditakuti. Berkuasa tahun 1967-1998.

SATRIO JINUMPUT SUMELA ATUR. Tokoh pemimpin yang diangkat/terpungut (Jinumput) akan tetapi hanya dalam masa jeda atau transisi atau sekedar menyelingi saja (Sumela Atur). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai BJ Habibie, Presiden Ketiga Republik Indonesia. Berkuasa tahun 1998-1999.


4. SATRIO LELONO TAPA NGRAME. Tokoh pemimpin yang suka mengembara / keliling dunia (Lelono) akan tetapi dia juga seseorang yang mempunyai tingkat kejiwaan Religius yang cukup / Rohaniawan (Tapa Ngrame). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai KH. Abdurrahman Wahid, Presiden Keempat Republik Indonesia. Berkuasa tahun 1999-2000.

5. SATRIO PININGIT HAMONG TUWUH. Tokoh pemimpin yang muncul membawa kharisma keturunan dari moyangnya (Hamong Tuwuh). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Megawati Soekarnoputri, Presiden Kelima Republik Indonesia. Berkuasa tahun 2000-2004.

6. SATRIO BOYONG PAMBUKANING GAPURO. Tokoh pemimpin yang berpindah tempat (Boyong / dari menteri menjadi presiden) dan akan menjadi peletak dasar sebagai pembuka gerbang menuju tercapainya zaman keemasan (Pambukaning Gapuro). Banyak pihak yang menyakini tafsir dari tokoh yang dimaksud ini adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Ia akan selamat memimpin bangsa ini dengan baik manakala mau dan mampu mensinergikan dengan kekuatan Sang Satria Piningit atau setidaknya dengan seorang spiritualis sejati satria piningit yang hanya memikirkan kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia sehingga gerbang mercusuar dunia akan mulai terkuak. Mengandalkan para birokrat dan teknokrat saja tak akan mampu menyelenggarakan pemerintahan dengan baik. Ancaman bencana alam, disintegrasi bangsa dan anarkhisme seiring prahara yang terus terjadi akan memandulkan kebijakan yang diambil.

7. SATRIO PINANDITO SINISIHAN WAHYU. Tokoh pemimpin yang amat sangat Religius sampai-sampai digambarkan bagaikan seorang Resi Begawan (Pinandito) dan akan senantiasa bertindak atas dasar hukum / petunjuk Yang Maha Kuasa. Dengan selalu bersandar hanya kepada Yang Maha Kuasa, bangsa ini akan mencapai zaman keemasan yang sejati.


Wangsit Siliwangi (Mengandung banyak makna)

Saur Prabu Siliwangi ka balad Pajajaran anu milu mundur dina sateuacana ngahiang: Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! ngaing moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi Raja, anu somah sakabéhna, lapar baé jeung balangsak.
Daréngékeun! Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah kidul! Anu hayang balik deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka beulah kalér! Anu dék kumawula ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan! Anu moal milu ka saha-saha, geura misah ka beulah kulon!
Daréngékeun! Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho: Kajayaan milu jeung dia! Nya turunan dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi masing nyaraho, arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal aya babalesna. Jig geura narindak!
Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. Engké jaga, mun tengah peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang!
Dia nu marisah ka beulah kalér, daréngékeun! Dayeuh ku dia moal kasampak. Nu ka sampak ngan ukur tegal baladaheun. Turunan dia, lolobana bakal jadi somah. Mun aya nu jadi pangkat, tapi moal boga kakawasaan. Arinyana engké jaga, bakal ka seundeuhan batur. Loba batur ti nu anggang, tapi batur anu nyusahkeun. Sing waspada!
Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi. Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.
Engké bakal réa nu kapanggih, sabagian-sabagian. Sabab kaburu dilarang ku nu disebut Raja Panyelang! Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.
Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa: tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa, sabab murah jaman seubeuh hakan.
Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk; laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup di buburak ku nu ngaranteur pamuka jalan; tapi jalan nu pasingsal!
Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur; laju sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri teu anggeus, sabab kaburu: warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét. Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba nu paraeh kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong, sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti deui lalakon.
Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang ? Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang.
Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala! Ti harita, ganti deui jaman. Ganti jaman ganti lakon! Iraha? Hanteu lila, anggeus témbong bulan ti beurang, disusul kaliwatan ku béntang caang ngagenclang. Di urut nagara urang, ngadeg deui karajaan. Karajaan di jeroeun karajaan jeung rajana lain teureuh Pajajaran.
Laju aya deui raja, tapi raja, raja buta nu ngadegkeun lawang teu beunang dibuka, nangtungkeun panto teu beunang ditutup; nyieun pancuran di tengah jalan, miara heulang dina caringin, da raja buta! Lain buta duruwiksa, tapi buta henteu neuleu, buaya eujeung ajag, ucing garong eujeung monyét ngarowotan somah nu susah. Sakalina aya nu wani ngageuing; nu diporog mah lain satona, tapi jelema anu ngélingan. Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan............................. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.
Ti dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung bari nyorén kanéron butut, ngageuingkeun nu keur sasar, ngélingan nu keur paroho. Tapi henteu diwararo! Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan. Arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup ngebul tina pirunan. Boro-boro dék ngawaro, malah budak nu janggotan, ku arinyana ditéwak diasupkeun ka pangbérokan. Laju arinyana ngawut-ngawut dapur batur, majarkeun néangan musuh; padahal arinyana nyiar-nyiar pimusuheun.
Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!
Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.
Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné!
Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul. Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati.
Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon!
Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!