65% penduduk Jawa Barat adalah Suku Sunda yang merupakan penduduk asli provinsi ini. Suku lainnya adalah Suku Jawa yang banyak dijumpai di daerah bagian utara Jawa Barat, Suku Betawi banyak mendiami daerah bagian barat yang bersempadan dengan Jakarta. Suku Minang dan Suku Batak banyak mendiami Kota-kota besar di Jawa Barat, seperti Bandung, Cimahi, Bogor, Bekasi, dan Depok. Sementara itu Orang Tionghoa banyak dijumpai hampir di seluruh daerah Jawa Barat.
Hampir semua orang Sunda beragama Islam. Hanya sebagian kecil yang tidak
beragama Islam, diantaranya orang-orang Baduy yang tinggal di Banten Tetapi juga ada
yang beragama Katolik, Kristen, Hindu, Budha.Selatan. Praktek-praktek sinkretisme dan mistik masih dilakukan. Pada dasarnya seluruh kehidupan orang Sunda ditujukan untuk memelihara keseimbangan alam semesta.
Pada masa nirleka (prasejarah) masyarakat Sunda begitu menjunjung tinggi (roh) para leluhur dan ajaran-ajarannya. Kepercayaan terhadap nenek moyang ini senantiasa dipelihara oleh mereka hingga berabad-abad kemudian setelah agama Hindu-Buddha dan Islam masuk ke wilayah mereka. Jadi, walaupun pengaruh agama lain kuat terhadap kehidupan, masyarakat Sunda kuno tetap memegang teguh kepercayaan terhadap (ajaran) nenek-moyang. Naskah-naskah kuno begitu sering menyebutkan adanya kabuyutan, yakni tempat sakral yang diperuntukkan bagi kaum brahmana atau resi atau bagawat yang bertugas memelihara ajaran agama dan tempat suci itu sendiri. Kabuyutan juga merupakan tempat di mana para pujangga (kauam intelektual) menulis kitab-kitab tentang agama. Prasasti Gegerhanjuang (1111 M) di Singaparna (Tasikmalaya), misalnya, menyebutkan adanya panyusukan atau penyaluran air sehubungan dengan pembangunan Kabuyutan Linggawangi di tempat bersangkutan.
Upaya raja-raja Sunda dalam membuat kabuyutan juga banyak diabadikan dalam naskah-naskah, salah satunya Amanat Galunggung (dikenal juga sebagai Kropak 632 atau Naskah Ciburuy). Di dalamnya diberitakan bahwa Prabu Dharmasiksa berpesan terhadap anak-cucunya agar memegang teguh ajaran agama dan menjaga Kabuyutan Galunggung. Diperingatkannya bahwa kabuyutan tersebut jangan jatuh ke tangan orang non-Sunda, dan orang yang memelihara kabuyutan tersebut akan memeroleh kesaktian, unggul dalam perang, hidup akan lama, keturunannya akan bahagia. Jelas, bahwa bagi raja-raja Sunda, fungsi kabuyutan sebagai kekuatan magis dinilai sangat penting, lebih penting dari, misalnya, lamanya sang raja memerintah. Dalam pandangan orang Sunda Kuno, kedudukan kabuyutan sejajar dengan nilai kemenangan dalam perang. Pada masa Sri Baduga, pemeliharaan terhadap kabuyutan ini tetap dilaksanakan. Ia menyatakan, kabuyutan di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya dijadikan sebagai “desa perdikan”, yaitu desa yang dibebaskan dari pajak. Kabuyutan ini dibebaspajakkan karena jasa-jasanya terhadap negara dalam memelihari ajaran leluhur dan juga perintah raja.
Naskah Amanat Galunggung juga memuat ajaran agar senantiasa melaksanakan perintah nenek moyang (juga orangtua) serta menjaga apa-apa yang telah diperbuat oleh leluhur yang telah almarhum (suwargi).
“Tetaplah mengikuti orangtua, melaksanakan ajaran yang membuat parit di Galunggung, agar unggul perang, serba tumbuh tanam-tanaman, lama berjaya. Sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama warisan dari para almarhum.”
Nama KERAJAAN SUNDA berawal ketika Sri Baginda Maha Raja Lingga Warman Kusuma Yudha sebagai Raja terakhir (ke. 12) Kerajaan Jagat Pati Tarum Nagara yang berkedudukan di Keraton Bima (sekarang Obyek Wisata Kolam Linggajati) ..mengalami kemunduran / masa suram. Dan akhirnya menyerahkan Tahta Kerajaannya kepada menantunya yang bernama Sri Maha Prabu Tarusbawa / Sang Tohaan, yang kemudian mengganti nama Kerajaannya menjadi KERAJAAN SUNDA, Thn. 591 SM, yang berkedudukan di Ds. Sembawa Peusing Kec. Jalaksana Kuningan.
Tarus bawa adalah suami dari Putri Mahkota Prabu Lingga Warman yang bernama Ratu Widari Mayang Kencana.
Ratu Dewi Mayang Kencana mempunyai adik kandung yang bernama Ratu Dewi Sobakancana, yang kemudian dijadi kan Permesuri oleh Sri Haji Depuhyantang Jayanase yang kemudian beliau mendi rikan Kerajaan besar di Swarnabhumi /Sumatera yang bernama Kerajaan SRIWIJAYA.
Sri Maha Prabu Tarusbawa Sang Tohaan mempunyai dua orang anak. Putra pertama bernama Raden Sunda Sembawa sebagai Putra Mahkota dan yang ke dua bernama Ratu Dewi Mayang Sari. Raden Sunda Sembawa mempu nyai putri bernama Ratu Teja Kencana/Sekar Kencana yang kemudian dijadikan Permaisuri oleh Raden Sanjaya Haris Dharma Yudha (Cucu Sang Mandiminyak Raja Galuh Medang Kamuliaan Kuningan).
Sementara Putra kedua yang bernama Ratu Dewi Mayang Sari menikah dg Raden Wangsa Nagara (sebagai Patih Kerajaan Sunda) mempunyai putra yang bernama Raden Anggada. Raden Sanjaya dari pernikahannya dg Ratu Sekar Kencana/ Teja Kencana dikaruniai satu orang putra yang diberi nama Prabu Anom Raden Barmawijaya/ Raden Tamperan/Sang Dago Jawa.
Selanjut nya seiring perjalanan waktu pada akhirnya Beliau Raden Sanjaya dinobatkan sebagai RAJA SUNDA, Thn. 645 SM dan diberikan Gelar MAHA RAJA HARIS DHARMA BHIMA PRAKARMA PRABU MAHESWARA SARWA JAYASATRU YUD HA PURNA JAYA....
Keratonnya berkedudukan di KERATON BIMA (sekarang Obyek Wisata Kolam Linggajati).
Bila terdapat kesalahan atau ceritanya kurang jelas mohon maklum adanya karena memang begit
ulah sejarah, kita hanya mampu menerka-nerka dan melihat bukti yang ada..
Wallahu a'lam
Hampir semua orang Sunda beragama Islam. Hanya sebagian kecil yang tidak
beragama Islam, diantaranya orang-orang Baduy yang tinggal di Banten Tetapi juga ada
yang beragama Katolik, Kristen, Hindu, Budha.Selatan. Praktek-praktek sinkretisme dan mistik masih dilakukan. Pada dasarnya seluruh kehidupan orang Sunda ditujukan untuk memelihara keseimbangan alam semesta.
Pada masa nirleka (prasejarah) masyarakat Sunda begitu menjunjung tinggi (roh) para leluhur dan ajaran-ajarannya. Kepercayaan terhadap nenek moyang ini senantiasa dipelihara oleh mereka hingga berabad-abad kemudian setelah agama Hindu-Buddha dan Islam masuk ke wilayah mereka. Jadi, walaupun pengaruh agama lain kuat terhadap kehidupan, masyarakat Sunda kuno tetap memegang teguh kepercayaan terhadap (ajaran) nenek-moyang. Naskah-naskah kuno begitu sering menyebutkan adanya kabuyutan, yakni tempat sakral yang diperuntukkan bagi kaum brahmana atau resi atau bagawat yang bertugas memelihara ajaran agama dan tempat suci itu sendiri. Kabuyutan juga merupakan tempat di mana para pujangga (kauam intelektual) menulis kitab-kitab tentang agama. Prasasti Gegerhanjuang (1111 M) di Singaparna (Tasikmalaya), misalnya, menyebutkan adanya panyusukan atau penyaluran air sehubungan dengan pembangunan Kabuyutan Linggawangi di tempat bersangkutan.
Upaya raja-raja Sunda dalam membuat kabuyutan juga banyak diabadikan dalam naskah-naskah, salah satunya Amanat Galunggung (dikenal juga sebagai Kropak 632 atau Naskah Ciburuy). Di dalamnya diberitakan bahwa Prabu Dharmasiksa berpesan terhadap anak-cucunya agar memegang teguh ajaran agama dan menjaga Kabuyutan Galunggung. Diperingatkannya bahwa kabuyutan tersebut jangan jatuh ke tangan orang non-Sunda, dan orang yang memelihara kabuyutan tersebut akan memeroleh kesaktian, unggul dalam perang, hidup akan lama, keturunannya akan bahagia. Jelas, bahwa bagi raja-raja Sunda, fungsi kabuyutan sebagai kekuatan magis dinilai sangat penting, lebih penting dari, misalnya, lamanya sang raja memerintah. Dalam pandangan orang Sunda Kuno, kedudukan kabuyutan sejajar dengan nilai kemenangan dalam perang. Pada masa Sri Baduga, pemeliharaan terhadap kabuyutan ini tetap dilaksanakan. Ia menyatakan, kabuyutan di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya dijadikan sebagai “desa perdikan”, yaitu desa yang dibebaskan dari pajak. Kabuyutan ini dibebaspajakkan karena jasa-jasanya terhadap negara dalam memelihari ajaran leluhur dan juga perintah raja.
Naskah Amanat Galunggung juga memuat ajaran agar senantiasa melaksanakan perintah nenek moyang (juga orangtua) serta menjaga apa-apa yang telah diperbuat oleh leluhur yang telah almarhum (suwargi).
“Tetaplah mengikuti orangtua, melaksanakan ajaran yang membuat parit di Galunggung, agar unggul perang, serba tumbuh tanam-tanaman, lama berjaya. Sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama warisan dari para almarhum.”
Nama KERAJAAN SUNDA berawal ketika Sri Baginda Maha Raja Lingga Warman Kusuma Yudha sebagai Raja terakhir (ke. 12) Kerajaan Jagat Pati Tarum Nagara yang berkedudukan di Keraton Bima (sekarang Obyek Wisata Kolam Linggajati) ..mengalami kemunduran / masa suram. Dan akhirnya menyerahkan Tahta Kerajaannya kepada menantunya yang bernama Sri Maha Prabu Tarusbawa / Sang Tohaan, yang kemudian mengganti nama Kerajaannya menjadi KERAJAAN SUNDA, Thn. 591 SM, yang berkedudukan di Ds. Sembawa Peusing Kec. Jalaksana Kuningan.
Tarus bawa adalah suami dari Putri Mahkota Prabu Lingga Warman yang bernama Ratu Widari Mayang Kencana.
Ratu Dewi Mayang Kencana mempunyai adik kandung yang bernama Ratu Dewi Sobakancana, yang kemudian dijadi kan Permesuri oleh Sri Haji Depuhyantang Jayanase yang kemudian beliau mendi rikan Kerajaan besar di Swarnabhumi /Sumatera yang bernama Kerajaan SRIWIJAYA.
Sri Maha Prabu Tarusbawa Sang Tohaan mempunyai dua orang anak. Putra pertama bernama Raden Sunda Sembawa sebagai Putra Mahkota dan yang ke dua bernama Ratu Dewi Mayang Sari. Raden Sunda Sembawa mempu nyai putri bernama Ratu Teja Kencana/Sekar Kencana yang kemudian dijadikan Permaisuri oleh Raden Sanjaya Haris Dharma Yudha (Cucu Sang Mandiminyak Raja Galuh Medang Kamuliaan Kuningan).
Sementara Putra kedua yang bernama Ratu Dewi Mayang Sari menikah dg Raden Wangsa Nagara (sebagai Patih Kerajaan Sunda) mempunyai putra yang bernama Raden Anggada. Raden Sanjaya dari pernikahannya dg Ratu Sekar Kencana/ Teja Kencana dikaruniai satu orang putra yang diberi nama Prabu Anom Raden Barmawijaya/ Raden Tamperan/Sang Dago Jawa.
Selanjut nya seiring perjalanan waktu pada akhirnya Beliau Raden Sanjaya dinobatkan sebagai RAJA SUNDA, Thn. 645 SM dan diberikan Gelar MAHA RAJA HARIS DHARMA BHIMA PRAKARMA PRABU MAHESWARA SARWA JAYASATRU YUD HA PURNA JAYA....
Keratonnya berkedudukan di KERATON BIMA (sekarang Obyek Wisata Kolam Linggajati).
Bila terdapat kesalahan atau ceritanya kurang jelas mohon maklum adanya karena memang begit
ulah sejarah, kita hanya mampu menerka-nerka dan melihat bukti yang ada..
Wallahu a'lam